Realitas - Pendaki yang Sesungguhnya, dan Beneran ada !


Bagi para penggiat aktivitas pendakian gunung tentunya sudah tidak asing mendengar profesi yang satu ini. Porter adalah  orang-orang yang dibayar untuk membantu membawa barang-barang para pendaki pada saat melakukan aktivitas pendakian gunung. Seringkali porter juga bertugas untuk menyiapkan makanan pada saat pendakian. Singkatnya, tugas porter adalah melayani para pendaki yang telah membayar mereka. Di balik keindahan alam pegunungan, di balik perasaan puas para pendaki ketika mencapai puncak, terkadang para porter-porter yang amat berjasa ini justru terlupakan.

Bagi kita yang sangat menyukai aktivitas pendakian gunung, tetapi memiliki budgetyang terbatas, tentunya akan berpikir berkali-kali untuk meyewa jasa porter ini. Jasa para porter seringkali digunakan bagi mereka yang memiliki budget lebih. Namun, tidak perlu susah-susah untuk bisa memahami pekerjaan para porter-porter ini. Saya beberapa kali melakukan pendakian gunung. Banyak sekali sisi-sisi kemanusiaan yang bisa kita pahami lewat aktivitas yang satu ini. Salah satunya adalah sisi lain dari para porter pendakian.
Porter sangat berpengalaman dalam mendaki gunung. Namun alasan mereka untuk melakukan pendakian jelas-jelas sangat berbeda dengan alasan kebanyakan orang, termasuk saya. Jika kita melakukan pendakian untuk bisa menikmati keindahan alam, mengabadikannya lewat foto-foto menakjubkan, berpose dengan gagahnya saat berada di puncak, namun semua alasan itu tidak pernah terlintas sama sekali di dalam benak seorang porter. Kebutuhan hidup adalah satu-satunya alasan. Menjadi porter bukanlah pilihan mereka. Namun ketika kemampuan fisik menjadi satu-satunya modal yang bisa diandalkan, maka tidak ada pilihan lain. Kebutuhan ekonomi memang menjadi alasan yang klasik, tetapi memang itulah kenyataannya.

Dalam beberapa pendakian yang pernah saya lakukan, seringkali saya menjumpai sosok porter-porter yang gagah perkasa ini. Sosok pria paruh baya dengan lengan-lengan yang hitam legam terbakar panasnya matahari. Usia yang tak lagi muda bukanlah alasan bagi mereka untuk berhenti menekuni profesi ini. Luar biasa dan kagum. Hanya itu yang terpikir di kepala saya saat melihat secara langsung pekerjaan mereka. Carrier-carrier besar yang mereka panggul, bahkan terkadang mereka membawa lebih dari satu carrier. Seandainya saja tangan mereka ada lebih dari dua, pasti mereka akan membawa beban yang lebih berat lagi. Ya, demi segenggam rupiah.

Bulan Mei tahun 2012 yang lalu, saya mendaki Gunung Gede via jalur Gunung Putri. Jalur Gunung Putri adalah salah satu jalur yang biasa digunakan para pendaki untuk mandaki Gunung Gede dan Pangrango selain jalur Cibodas dan jalur Salabintana. Trek yang dilalui via jalur Gunung Putri ini lebih menantang jika dibandingkan dengan jalur Cibodas, dikarenakan jalan setapak yang terus mendaki, tidak ada shelter untuk tempat istirahat, dan tidak terdapat sumber air kecuali jika sudah sampai di Alun-Alun Surya Kencana (untuk bisa sampai di Surya Kencana harus mencapai puncak Gede terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan perjalanan menurun).

Di sepanjang perjalanan saat melewati jalur Gunung Putri saya bertemu dengan beberapa porter yang membawakan barang-barang turis asing yang sedang melakukan pendakian. Mereka adalah laki-laki paruh baya berusia sekitar 40 atau 50 tahunan. Dahi dan lengan mereka basah oleh peluh. Namun mereka tetap menyapa kami dengan senyum tulus dan wajah yang sumringah. Alangkah malunya saya pada waktu itu. Saya hanya terduduk lesu terdiam karena lelah berjalan. Sementara bapak porter itu justru menyemangati saya, “Ayo neng, sebentar lagi nyampe di Surken atuh.” , haturnya dengan lembut.    (Surken: Surya Kencana)

Selain porter, saya juga melihat sosok-sosok lain yang sangat menakjubkan. Pedagang nasi uduk. Gunung Gede seakan menjadi berkah bagi penduduk yang bermukim di sekitarnya. Pada musim ramai pendakian seperti yang saya alami waktu itu, banyak terdapat para pedagang nasi uduk yang menjajakan dagangannya. Tak tanggung-tanggung, mereka menajajakan dagangannya bahkan sampai di camp Alun-Alun Surya Kencana, dimana  memang banyak pendaki yang mendirikan tenda dan bermalam di sana. Mereka memanggul dagangannya dari rumah berupa nasi uduk yang digendong di belakang dan termos yang mereka pegang selama pendakian. Sarung yang dibelit-belitkan sedimikian rupa mereka gunakan sebagai tempat menyimpan berbungkus-bungkus nasi uduk yang akan mereka jual. Jangan heran jika melihat pemandangan ini. Sepanjang perjalanan terakadang mereka akan menawarkan barang dagangannya. Harga dagangan mereka pun tidak terlalu mahal. Kalau tidak salah sekitar Rp10.000,00 untuk sebungkus nasi uduk. Seakan tidak sebanding dengan perjuangan mereka memanggul nasi-nasi itu dari rumah sampai di Surya Kencana ini. Pemandangan yang sama juga akan kita lihat di Pos Kandang Badak, jika kita menaiki Gunung Gede dan Pangrango melewati jalur Cibodas. Terkadang pedagang minuman hangat akan senantiasa menawarkan dagangannya kepada para pendaki. Segelas kopi atau susu panas yang mereka jajakan seakan memberi kehangatan di tengah dinginnya alam Gede-Pangrango.

Pendaki sejati adalah pendaki yang bisa menghargai kehidupan. Demi menyambung hidup porter-porter dan penjual nasi ini mendaki gunung dan seringkali mencapai puncaknya. Namun bukan untuk gagah-gagahan atau berwisata. Sosok-sosok manusia ini mendaki gunung untuk memberikan kehidupan bagi manusia-manusia lain yang dicintainya. Mari kita coba untuk sedikit memahami dan semoga tulisan kecil ini dapat sedikit membuka pikiran kita.
Semoga bermanfaat untuk kita semua yah~




Sumber : Kompasiana
Share on Google Plus

About Unknown

Hanyalah Seorang Manusia Biasa yang tidak lepas dari Kesalahan.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar